oekarno[cat.] (ER, EYD: Sukarno; Jawa: ꦯꦸꦑꦂꦟ; pengucapan bahasa Jawa:
[suːˈkarnɔ]),[2] nama lahir: Koesno Sosrodihardjo (EYD: Kusno Sorsodiharjo;
bahasa Jawa: [kʊsnɔ sɔrsɔdihardʒɔ]) (6 Juni 1901 – 21 Juni 1970)[cat. 1][cat. 2]
adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode
1945–1967.[7]:11, 81 Ia adalah seorang tokoh perjuangan yang berperan penting
dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[8]:26-32 Ia adalah
Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) pada tanggal
17 Agustus 1945. Soekarno orang pertama yang mencetuskan konsep mengenai
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.[8]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang
kontroversial, isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan
Darat— menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga
keamanan negara dan institusi kepresidenan.[8] Supersemar menjadi dasar Letnan
Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti
anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[8] Setelah pertanggungjawabannya
ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke
empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada
Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai
pejabat Presiden Republik Indonesia.[8] Nama Soekarno lahir di Peneleh,
Surabaya, Jawa Timur dengan nama Kusno (Koesno) yang diberikan oleh
orangtuanya.[7] Akan tetapi, karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas
tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[7][9]:35-36 Nama tersebut
diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu
Karna.[7][9] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a"
berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[9] Di kemudian
hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah
(Belanda).[9]:32 Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena
tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk
mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun.[9]:32 Sebutan akrab untuk
Soekarno adalah Bung Karno. Achmed Soekarno Di beberapa negara Barat, nama
Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika
Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan
bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?"[10] karena mereka tidak mengerti
kebiasaan sebagian penamaan di Indonesia, terutama nama Jawa, yang hanya
menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Soekarno
menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[11]
Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama
Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang
melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan
negara Indonesia oleh negara-negara Arab. Dalam buku Bung Karno: Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia[12] dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena
dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri
satu kata. Kehidupan Masa kecil dan remaja Rumah masa kecil Bung Karno Soekarno
dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo
(1873–1945) dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai (1881–1958).[7] Keduanya bertemu
ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar
Pribumi di Singaraja, Bali.[7] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari
Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[7]
Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno
lahir.[13]:4-6, 247-251 Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden
Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[7] Ia bersekolah pertama kali di Tulung
Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang
ditugaskan di kota tersebut.[7] Di Mojokerto, ayahnya memasukkan Soekarno ke
Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[13] Kemudian pada Juni 1911
Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya
diterima di Hogere Burger School (HBS).[7] Pada tahun 1915, Soekarno telah
menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya,
Jawa Timur.[7] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang
bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[7] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal
bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[7] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu
dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat
itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[7]
Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang
dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[7] Nama organisasi tersebut
kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[7] Selain itu,
Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh
Tjokroaminoto.[13] Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja Soekarno bersama
mahasiswa pribumi TH Bandung tahun 1923. Baris belakang dari kiri ke kanan: M.
Anwari, Soetedjo, Soetojo, Soekarno, R. Soemani, Soetono, R. M. Koesoemaningrat,
Djokoasmo, Marsito. Duduk di depan: Soetoto, M. Hoedioro, Katamso. Tamat HBS
Soerabaja bulan Juli 1921,[14] bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS,
Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[3]:38 setelah dua
bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[3]:38
dan tamat pada tahun 1926.[15] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada
tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926
dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.[3]:37 Prof. Jacob Clay
selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu
bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".[3]:37 Mereka
adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[16]:167 selain itu ada seorang lagi dari
Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[16]:167 Saat di Bandung,
Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam
dan sahabat karib Tjokroaminoto.[7] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische Partij. Sebagai arsitek Bung Karno adalah
presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni dari
Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil
jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. [cat. 3][cat. 4][17] Pekerjaan
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak
mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga
merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya. Ketika dibuang
di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid
Jami' di tengah kota.[18] Pengaruh terhadap karya arsitektur Semasa menjabat
sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan
oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada
tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan
Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia
secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[19]
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa
kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga
merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan
pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah
dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M.
Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain
arsitektural juga dibuat melalui sayembara.[20] Masjid Istiqlal (1951) Monumen
Nasional (1960) Gedung Conefo[20] Gedung Sarinah[20] Wisma Nusantara[20] Hotel
Indonesia (1962)[21] Tugu Selamat Datang[21] Monumen Pembebasan Irian Barat[21]
Patung Dirgantara[21] Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide
arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan
sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya
melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk
pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur
dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf [17] Rancangan skema Tata Ruang Kota
Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 [17] Silsilah keluarga Silsilah
keluarga Kiprah politik Question book-new.svg Artikel ini tidak memiliki
referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Tolong
bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Tulisan
tanpa sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu. Cari sumber:
"Soekarno" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR Pergantian tampuk
pimpinan pemerintahan Indonesia. Soekarno tampil pertama kali pada kulit muka
majalah Time tanggal 23 Desember 1946 Vol. XLVIII No. 26, ilustrasi karya Boris
Chaliapin untuk media asal Amerika tersebut Masa pergerakan nasional Soekarno
untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java
cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang
Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan
tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya
Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko
(kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan
agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam
bahasa Belanda.[22] Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club
(ASC)[cat. 5][24] di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische
Studie Club oleh Dr. Soetomo.[7] Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai
Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.[15] Aktivitas Soekarno di PNI
menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan
esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun
1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin dan di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember
1930 ia membacakan pleidoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat, hingga
dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno
bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.
Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di
sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya
tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno
diasingkan ke Provinsi Bengkulu, ia baru kembali bebas pada masa penjajahan
Jepang pada tahun 1942. Masa penjajahan Jepang Pada awal masa penjajahan Jepang
(1942–1945), pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat
pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu
populer. Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta,
dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk
menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti
Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya
disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang
berbahaya. Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan
teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama
dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan
sendiri. Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya
adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia
termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk
menyingkir ke Rengasdengklok. Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki
Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes
Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar
memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut.
Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut,
karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar
Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia
sendiri. Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang
membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain
dalam kasus romusha. Masa Perang Revolusi Ruang tamu rumah persembunyian Bung
Karno di Rengasdengklok. Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai
mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Sembilan (yang
menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk
oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air (PETA)
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih
serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman
kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum
tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu
kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah
Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Indonesia yakni dipilihnya
tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci
kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin
kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno
dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden
dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19 September 1945
kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa
Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang
yang masih bersenjata lengkap. Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin
oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan
Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat
provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (di
bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya
Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu
itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari
Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Presiden Soekarno dan Nikita Khruschev dalam sebuah pertemuan Kepala Negara
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku
kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama
revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensiil atau
double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya
maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945
tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara
yang lebih demokratis. Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi
kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang
menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah
pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada
kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa
Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya
yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda. Masa kemerdekaan Kunjungan
Presiden Soekarno ke Amerika pada 1961 yang disambut oleh Presiden John F.
Kennedy Presiden Soekarno, Presiden Osvaldo Dorticos, Fidel Castro dan Che
Guevara, pada 9 Mei 1960, kunjungan kenegaraan ke Havana, Kuba Soekarno
berbincang dengan Mao Tse-Tung, 24 November 1956, Peking, Tiongkok Setelah
Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan
Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal
sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang
ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada
Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional,
tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi
dengannya. Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di
kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri.
Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat
Presiden Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya
sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi
konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya
kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan
Udara. Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum
merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan
presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan
Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu"
yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme
dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang
mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam
penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito
(Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu,
(Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang
membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang
memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami
konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan
masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini
pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno
bila ingat atau mengenal akan Indonesia.[butuh rujukan] Guna menjalankan politik
luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno
mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di
antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika
Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (Tiongkok). Masa marabahaya Soekarno
di antara barisan prajurit Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sedikitnya
pernah mengalami percobaan pembunuhan lebih dari satu kali, Putrinya, Megawati
Soekarnoputri pernah menyebut angka 23. "Saya ingin mengambil satu contoh
konkret, Presiden Soekarno itu mengalami percobaan pembunuhan dari tingkat yang
namanya baru rencana sampai eksekusi (sebanyak) 23 kali," tutur Mega pada Juli
2009. Sementara itu, angka lebih kecil keluar dari mulut Sudarto Danusubroto.
Dia ajudan presiden pada masa-masa akhir kekuasaan Soekarno. Sudarto pernah
mengatakan ada 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Jumlah ini pernah
diamini oleh eks Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan. Namun bekas
pengawal pribadinya, hanya mampu mengingat 7 kali upaya percobaan
pembunuhan.[25] Granat Cikini Pada 30 November 1957, Presiden Soekarno datang ke
Perguruan Cikini (Percik), tempat bersekolah putra-putrinya, dalam rangka
perayaan ulang tahun ke-15 Percik. Granat tiba-tiba meledak di tengah pesta
penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang terluka, termasuk pengawal
presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang ditangkap
akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek
teror gerakan DI/TII.[25] Penembakan Istana Presiden Pada 9 Maret 1960, Tepat
siang bolong Istana presiden dihentakkan oleh ledakan yang berasal dari tembakan
kanon 23 mm pesawat Mig-17 yang dipiloti Daniel Maukar. Maukar adalah Letnan AU
yang telah dipengaruhi Permesta. Kanon yang dijatuhkan Maukar menghantam pilar
dan salah satunya jatuh tak jauh dari meja kerja Soekarno. Untunglah Soekarno
tak ada di situ. Soekarno tengah memimpin rapat di gedung sebelah Istana
Presiden. Maukar sendiri membantah ia mencoba membunuh Soekarno. Aksinya hanya
sekadar peringatan. Sebelum menembak Istana Presiden, dia sudah memastikan tak
melihat bendera kuning dikibarkan di Istana – tanda presiden ada di Istana. Aksi
ini membuat 'Tiger', call sign Maukar, harus mendekam di bui selama 8 tahun.[25]
Pencegatan Rajamandala Pada April 1960, Perdana Menteri Uni Soviet saat itu,
Nikita Kruschev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Dia menyempatkan
diri mengunjungi Bandung, Yogya dan Bali. Presiden Soekarno menyertainya dalam
perjalanan ke Jawa Barat. Tatkala, sampai di Jembatan Rajamandala, ternyata
sekelompok anggota DI/TII melakukan pengadangan. Beruntung pasukan pengawal
presiden sigap meloloskan kedua pemimpin dunia tersebut.[25] Granat Makassar
Pada 7 Januari 1962, Presiden Soekarno tengah berada di Makassar. Malam itu, ia
akan menghadiri acara di Gedung Olahraga Mattoangin. Ketika itulah, saat
melewati jalan Cendrawasih, seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset,
jatuh mengenai mobil lain. Soekarno selamat. Pelakunya Serma Marcus Latuperissa
dan Ida Bagus Surya Tenaya divonis hukuman mati.[25] Penembakan Idul Adha Pada
14 Mei 1962, Bachrum sangat senang ketika berhasil mendapatkan posisi duduk pada
saf depan dalam barisan jemaah salat Idul Adha di Masjid Baiturahim. Begitu
melihat Soekarno, dia mencabut pistol yang tersembunyi di balik jasnya, moncong
lalu diarahkan ke tubuh Soekarno. Dalam sepersekian detik ketika tersadar, arah
pun melenceng, dan peluru meleset dari tubuh Soekarno, menyerempet Ketua DPR GR
KH Zainul Arifin. Haji Bachrum divonis hukuman mati, namun kemudian dia
mendapatkan grasi.[25] Penembakan mortir Kahar Muzakar Pada 1960-an, Presiden
Soekarno dalam kunjungan kerja ke Sulawesi. Saat berada dalam perjalanan keluar
dari Lapangan Terbang Mandai, sebuah peluru mortir ditembakkan anak buah Kahar
Muzakkar. Arahnya kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh. Soekarno
sekali lagi, selamat.[25] Granat Cimanggis Pada Desember 1964, Presiden Soekarno
dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Rombongannya membentuk konvoi
kendaraan. Dalam laju kendaraan yang perlahan, mata Soekarno sempat bersirobok
dengan seorang lelaki tak dikenal di pinggir jalan. Perasaan Soekarno kurang
nyaman. Benar saja, lelaki itu melemparkan sebuah granat ke arah mobil presiden.
Beruntung, jarak pelemparannya sudah di luar jangkauan mobil yang melaju.
Soekarno pun selamat.[25] Upaya pembunuhan karakter Presiden Soekarno dan Dr.J.
Leimena bernyanyi bersama para artis ibukota pada Resepsi Peringatan HUT ke-21
Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Bogor. Dekade 1950-an dan 1960-an, Amerika
melalui perpanjangtanganannya Central Intelligence Agency melancarkan misi
rahasia yang bertujuan membunuh karakter dan kewibawaan Presiden Soekarno
melalui agitasi dan propaganda media popular via produksi film porno yang
diperankan oleh pemeran yang mirip Soekarno. Tujuan dari kampanye hitam ini
adalah mengubah persepsi masyarakat internasional terhadap Soekarno yang anti
kapitalisme dan mengagumi kaum Hawa tetapi tunduk tak berdaya di bawah kendali
agen rahasia Rusia.[26][27] "Kesuksesan itu menginspirasi para pejabat CIA
membuat langkah lebih jauh lagi. Mereka berniat memproduksi film porno Soekarno
dengan seorang wanita pirang yang dibuat seolah-olah pramugari Rusia itu," tulis
Blum mengutip pengakuan mantan agen CIA, Joseph Burkholder Smith, yang menulis
buku Portrait of a Cold Warrior. Kepala Kepolisian Los Angeles sampai turun
tangan mencari pria berkulit gelap yang sedikit botak dan wanita pirang yang
cantik. Tak ada yang mirip Soekarno, CIA membuat topeng khusus yang mirip
Soekarno kemudian dikirim ke Los Angeles. Bintang porno disuruh memakai topeng
Soekarno selama beradegan mesum. CIA merekam dan mengambil foto-foto adegan biru
tersebut.[26] Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the
Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958, film porno itu dikerjakan
di studio Hollywood yang dioperasikan Bing Crosby dan saudaranya. Film ini
dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Soekarno (diperankan pria Chicano)
mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan perempuan pirang
Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan. “Proyek ini
menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,”
tulis William Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since
World War II.[27] Namun foto-foto itu akhirnya tak jadi disebarluaskan. Banyak
versi kenapa CIA batal menyebarkan adegan mesum itu. Sebagian peneliti menilai
kampanye hitam seperti itu tak mempan untuk menjatuhkan Soekarno. Apalagi ada
mitos yang percaya jika seorang laki-laki "gagah" dan "berkuasa", maka dirasa
sah-sah saja berhubungan dengan banyak wanita, terutama mengingat bahwa
raja-raja di Nusantara pun dulu memiliki banyak istri dan selir.[26] Nasib akhir
dari film yang berjudul Happy Days pada akhirnya tak pernah dilaporkan.[27] Masa
embargo negara Adi Kuasa Zhou Enlai, Presiden Soekarno, dan Kawashima pada saat
Peringatan 10 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 19 April 1965. Pada
masa pra maupun paska kemerdekaan, Indonesia terjepit pada dua blok negara Adi
Kuasa dengan ideologi yang bertentangan satu sama lain. Blok kapitalis yang
dikomandoi Amerika dan sekutu di satu sisi, dan blok kiri yang diperebutkan
antara poros Rusia dan Tiongkok. Amerika melakukan kebijakan embargo terhadap
Indonesia karena menilai kecenderungan Soekarno dekat dengan blok rival. Amerika
tidak dapat berkutik ketika Allen Lawrence Pope, agen Central Intelligence
Agency tertangkap tangan. Tawar-menawar penangkapan Allen Pope, Amerika Serikat
akhirnya menyudahi embargo ekonomi dan menyuntik dana ke Indonesia, termasuk
menggelontorkan 37 ribu ton beras dan ratusan persenjataan yang dibutuhkan
Indonesia saat itu setelah diplomasi tingkat tinggi antara John F. Kennedy
dengan Soekarno.[28] Sementara Uni Soviet menerapkan embargo militer terhadap
Indonesia karena genosida terhadap elemen kiri, orang Partai Komunis Indonesia
pada tahun 1965–1967.[29] Indonesia sendiri terjepit di antara geopolitik Asia
Tenggara, Malaysia yang dianggap Soekarno adalah negara boneka Inggris, juga
Singapura yang memisahkan diri sebagai negara baru pada 9 Agustus 1965. Soekarno
mengumumkan sikap konfrontatif terhadap pembentukan negara federasi Malaysia
pada Januari 1963. Sehingga pada 1964–1965 negara federasi Malaysia yang
dideklarasikan 16 September 1963 tersebut diembargo Soekarno.[30] Singapura
membuka keran kerja sama dan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan
perdagangan dengan Indonesia meski telah diboikot dan diembargo. Hal ini
dianggap merugikan aspek ekonomi bagi Singapura akibat konfrontasi tersebut.[31]
Masa keterpurukan Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam
jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30
September atau G30S pada 1965.[15][32] Pelaku sesungguhnya dari peristiwa
tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di
dalamnya.[15] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan
KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan
menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar
PKI dibubarkan.[32] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena
bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).[8][32]
Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam
politik.[8][15] Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret
yang ditandatangani oleh Soekarno.[32] Isi dari surat tersebut merupakan
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu
guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.[32] Surat
tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima
Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi
terlarang.[32] Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No.
IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang
memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat
menjadi presiden apabila presiden berhalangan.[33] Soekarno kemudian membawakan
pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang
Umum ke-IV MPRS.[32] Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22
Juni 1966.[8] MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato
tersebut.[32] Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10
Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang
sama.[32] Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat
Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.[33] Dengan ditandatanganinya
surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.[33]
Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden
Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai
Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.[33] Sakit hingga
meninggal Pemakaman Soekarno pada 22 Juni 1970 di Blitar, Jawa Timur. Makam
Presiden Soekarno di Blitar, Jawa Timur. Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun
sejak bulan Agustus 1965.[33] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan
ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[33]
Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan
agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.[33] Ia bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[7][33]
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh
Ratna Sari Dewi.[33] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap
Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim
dokter kepresidenan.[33] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang
ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor
Jenderal TNI dr. Roebiono Kertopati.[33] Komunike medis tersebut menyatakan hal
sebagai berikut:[33] Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan
kesehatan Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan
kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia. Tim dokter secara
terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Soekarno hingga saat
meninggalnya. Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana
Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[33] Hal tersebut ditetapkan lewat
Keppres RI No. 44 tahun 1970.[33] Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari
setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam
ibunya.[33] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M.
Panggabean sebagai inspektur upacara.[33] Pemerintah kemudian menetapkan masa
berkabung selama tujuh hari.[33] Peninggalan Rumah Proklamasi yang merupakan
bekas kediaman Soekarno sekitar tahun 1950-1960. Di depannya, tampak Tugu
Proklamasi. Gelanggang Olahraga Bung Karno pada 1962. Jalan Proklamasi, yang
dulunya bernama Jalan Pegangsaan Timur,[34] merupakan letak bekas kediaman
Soekarno yang berada di Jakarta Pusat. Rumah tersebut diberikan oleh Syech
Faradj bin Martak.[butuh rujukan] Rumah tersebut menjadi saksi bisu Proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan di sana.[35]
Kediaman Bung Karno yang dijadikan tempat pembacaan naskah proklamasi
kemerdekaan pun sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan kehadiran Tugu
Proklamasi dengan patung Soekarno-Hatta yang menggambarkan suasana pembacaan
teks Proklamasi pada tahun 1945 dahulu.[36] Dalam rangka memperingati 100 tahun
kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan
prangko "100 Tahun Bung Karno".[13]:247-251 Prangko yang diterbitkan merupakan
empat buah prangko berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan
gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik
Indonesia.[13] Prangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan
potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar
Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an terpampang di atasnya.
Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki nominal Rp900 serta menunjukkan foto
Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki gambar
Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut
dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum
Peruri.[13] Selain prangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga
lima macam kemasan prangko, album koleksi prangko, empat jenis kartu pos, dua
macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.[13] Prangko yang
menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni
2008. Prangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel
Castro.[37] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan
peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba. Nama Soekarno
diabadikan sebagai nama gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut,
yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan
penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru,
kompleks olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai
keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya
yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang
jasa Bung Karno.[38] Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama
Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung
Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk
membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini
dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga Soekarno dan Fatmawati.
Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan
Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation
and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.[39] Sementara itu, Yayasan
Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni
maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.[40] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan
putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri,
Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[40] Pada
tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[13] Di
stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat"
yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno
menjadi presiden.[13] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata
Soekarno dijual di stan tersebut.[13] Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin
emas, CD berisi pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.[13] Seseorang yang
bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan
Soekarno.[13] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri
Pertahanan Udara Sedang.[13] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya
sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi,
Bogor.[13] Benda-benda tersebut antara lain sebuah lempengan emas kuning murni
24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap
tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan
ejaan lama berupa deposito hibah.[13] Selain itu terdapat pula uang UBCN
(Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss
dan Bank Netherland.[13] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso
bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas
tersebut.[41] Penghargaan Gelar Doctor Honoris Causa Semasa hidupnya, Soekarno
mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar
negeri.[42] Tanggal Gelar yang Dianugerahkan Nama Universitas, Kota, Negara 10
Januari 1951 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) Far Eastern
University, Manila, Filipina 19 September 1951 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia 24 Mei 1956 Doctor Honoris
Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) Columbia University, New York, Amerika
Serikat 27 Mei 1956 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law)
Michigan University, Michigan, Amerika Serikat 8 Juni 1956 Doctor Honoris Causa
dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) McGill University, Montreal, Kanada 23 Juni
1956 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik (Doctor of Technical Science) Berlin
University, Berlin Barat, Jerman Barat 11 September 1956 Doctor Honoris Causa
dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) Lomonosov University, Moskow, Rusia 13
September 1956 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) Beograd
University, Belgrado, Yugoslavia 23 September 1956 Doctor Honoris Causa dalam
Ilmu Hukum (Doctor of Law) Karlova University, Praha, Cekoslovakia 27 April 1959
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) Istanbul University,
Istanbul, Turki 30 April 1959 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of
Law) Warsaw University, Warsawa, Polandia 20 Mei 1959 Doctor Honoris Causa dalam
Ilmu Hukum (Doctor of Law) Brazil University, Rio de Janeiro, Brazil 11 April
1960 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Politik (Doctor of Political Science) Sofia
University, Sofia, Bulgaria 13 April 1960 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Politik (Doctor of Political Science) Bucharest University, Bukarest, Rumania 17
April 1960 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Mesin (Doctor of Engineering)
Budapest University, Budapest, Hungaria 24 April 1960 Doctor Honoris Causa dalam
Ilmu Falsafah (Doctor of Philosophy) Al-Azhar University, Kairo, Mesir 5 Mei
1960 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Sosial dan Politik La Paz University, La
Paz, Bolivia 13 September 1962 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik (Doctor of
Technical Science) Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia 2 Februari
1963 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas
Indonesia, Jakarta, Indonesia 29 April 1963 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Pengetahuan Hukum, Politik, dan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin,
Makassar, Indonesia 14 Januari 1964 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum &
Politik (Doctor of Law & Politics) Royal Khmere University, Phnom Penh, Kamboja
2 Agustus 1964 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum (Doctor of Law) University
of the Philippines, Manila, Filipina 3 November 1964 Doctor Honoris Causa dalam
Ilmu Pengetahuan Politik Universitas Pyongyang, Pyongyang, Korea Utara 2
Desember 1964 Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Da'Wah Institut
Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia 23 Desember 1964
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Sejarah Universitas Pajajaran, Bandung,
Indonesia 3 Agustus 1965 Doctor Honoris Causa dalam Falsafah Ilmu Tauhid
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia Tanda kehormatan Baris ke-1 Bintang
Republik Indonesia Adipurna[43] Bintang Mahaputera Adipurna[44] Bintang
Gerilya[45] Bintang Sakti[46] Baris ke-2 Bintang Dharma[47] Bintang Jasa
Utama[48] Bintang Bhayangkara Utama[49] Chief Commander Philippine Legion of
Honor (C.C.L.H.) - Filipina (1951)[50] Baris ke-3 Knight Grand Cross of the
Order of Pope Pius IX (G.C.P.O.) - Vatikan (1956)[51] Knight of the Order of the
Golden Spur - Vatikan (1959)[52] Grand Cordon of the Order of the Throne -
Maroko (1960)[53] Grand Cross with Chain of the Hungarian Order of Merit -
Hungaria (1960) Baris ke-4 Lenin Peace Prize - Uni Soviet (1960)[54] Order of
the Supreme Sun - 1st Class - Afghanistan (1961) Benemerenti medal - Vatikan
(1964)[55] Grand Cross of the Order of the Liberator General San Martin -
Argentina Baris ke-5 Medal of the Order of Australia (O.A.M.) - Australia Grand
Cross of the Order of the Condor of the Andes - Bolivia Grand Cross of the
National Order of the Southern Cross - Brazil Order of Georgi Dimitrov -
Bulgaria Baris ke-6 Collar of the Order of the White Lion - Czechoslovakia Grand
Cross 1st Class of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany -
Jerman Grand Cordon of the Supreme Order of the Chrysanthemum - Jepang Grand
Cross of the Military Order of Saint James of the Sword (G.C.S.E.) - Portugal
Baris ke-7 Order of Lenin - Uni Soviet Knight Grand Cross of the Most
Illustrious Order of Chula Chom Klao (K.G.C.) - Thailand Resistance Medal - 1st
Class - Vietnam Yugoslav Great Star of the Order of the Yugoslav Star -
Yugoslavia Baris ke-8 Supreme Companion of the Order of the Companions of O. R.
Tambo (S.C.O.T.) - Afrika Selatan (April 2005)[13] Bintang Garuda[56] Bintang
Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia[57] Satyalancana Perintis Kemerdekaan
Karya tulis Sukarno. Pancasila dan Perdamaian Dunia Sukarno. Kepada Bangsaku :
Karya-karya Bung Karno Pada Tahun 1926-1930-1933-1947-1957. Sukarno. Cindy
Adams. (1965). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno. Pantja
Sila Sebagai Dasar Negara. Sukarno. Bung Karno Tentang Marhaen Dan Proletar.
Sukarno. Negara Nasional Dan Cita-Cita Islam: Kuliah Umum Presiden Soekarno.
Sukarno. (1933). Mencapai Indonesia Merdeka. Sukarno. (1945). Lahirnya Pancasila
Sukarno. (1951). Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan
Pengadilan Kolonial. Sukarno. (1951). Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan
Republik Indonesia. Sukarno. (1957). Indonesia Merdeka. Sukarno. (1959). Dibawah
Bendera Revolusi Jilid 1. (kumpulan esai) Sukarno. (1960). Dibawah Bendera
Revolusi Jilid 2. (kumpulan esai) Sukarno. (1960). Amanat Penegasan Presiden
Soekarno Didepan Sidang Istimewa Depernas Tanggal 9 Djanuari 1960. Sukarno.
(1964). Tjamkan Pantja Sila ! : Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Sukarno.
(1964). Komando Presiden/Pemimpin Besar Revolusi: Bersiap-sedialah Menerima
Tugas untuk Menjelamatkan R.I. dan untuk Mengganjang "Malaysia"! Sukarno.
(1965). Wedjangan Revolusi. Sukarno. (1965). Tjapailah Bintang-Bintang di
Langit: Tahun Berdikari. Sukarno. (1965). Pantja Azimat Revolusi. Wikisumber
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini: Pengarang:Soekarno
Pidato Hari dan tanggal Rangka Judul pidato Jumat, 17 Agustus 1945 Proklamasi
Kemerdekaan RI Tudjuhbelas Agustus 1945 Sabtu, 17 Agustus 1946 HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-1 Sekali Merdeka, Tetap Merdeka Minggu, 17 Agustus 1947 HUT
Proklamasi Kemerdekaan RI ke-2 Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung Selasa, 17
Agustus 1948 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-3 Seluruh Nusantara Berdjiwa
Republik Rabu, 17 Agustus 1949 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-4 Tetaplah
Bersemangat Elang-Radjawali Kamis, 17 Agustus 1950 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI
ke-5 Dari Sabang sampai Merauke Jumat, 17 Agustus 1951 HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-6 Tjapailah Tata, Tenteram, Kertarahardja Minggu, 17 Agustus
1952 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-7 Harapan dan Kenjataan Senin, 17 Agustus
1953 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-8 Djadilah Alat Sedjarah Selasa, 17
Agustus 1954 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-9 Berirama dengan Kodrat Rabu, 17
Agustus 1955 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-10 Tetap Terbanglah Radjawali
Jum'at, 17 Agustus 1956 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-11 Berilah Isi Kepada
Hidupmu Sabtu, 17 Agustus 1957 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-12 Satu Tahun
Ketentuan Minggu, 17 Agustus 1958 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-13 Tahun
Tantangan Senin, 17 Agustus 1959 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14 Penemuan
Kembali Revolusi Kita Rabu, 17 Agustus 1960 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-15
Djalannja Revolusi Kita Jumat, 30 September 1960 Sidang Umum PBB ke-XV Membangun
Dunia Kembali To Build The World Anew Kamis, 17 Agustus 1961 HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-16 Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional Jumat,
17 Agustus 1962 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-17 Tahun Kemenangan Sabtu, 17
Agustus 1963 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-18 Genta Suara Revolusi Indonesia
Senin, 17 Agustus 1964 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-19 Tahun "Vivere
Pericoloso" Selasa, 17 Agustus 1965 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-20 Tahun
Berdikari Rabu, 22 Juni 1966 Sidang Umum MPRS IV Nawaksara Rabu, 17 Agustus 1966
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-21 Djangan Sekali-Kali Meninggalkan Sedjarah
Musik Soekarno menciptakan lagu Bersuka Ria, yang muncul dalam album Mari
Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada tahun 1965. Lagu ini dibawakan oleh Rita
Zahara, Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Nien Lesmana. Budaya populer Buku M.
Yuanda Zara. Ratna Sari Dewi Sukarno. Sukarno, Iman Toto K. Rahardjo (Editor),
Herdianto WK (Editor). (2001). Bung Karno dan Wacana Islam: Kenangan 100 tahun
Bung Karno. John Beilenson. Sukarno. Cindy Adams. Sukarno: My Friend. Adams, C.
(2011). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Penerjemah Syamsu Hadi.
Ed. Rev. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN
979-911-032-7-9. Guntur Sukarno. Sukarno: Bapakku, Kawanku, Guruku. Peter
Polomka. Indonesia Since Sukarno . Clifford Geertz, Benedict Anderson, Wim F.
Wertheim. Sukarno di Panggung Sejarah Justus Maria van der Kroef. Indonesia
After Sukarno. Peter Kasenda. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933. Ayub
Ranoh. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan
Kharismatis Sukarno. Books LLC. Sukarno: Indonesia-Malaysia Confrontation,
Transition to the New Order, Mohammad Hatta, Megawati Sukarnoputri, Constitution
of Indonesia. Anonim. (1956). Presiden Sukarno di Tiongkok. Maslyn Williams.
(1965). Five Journeys from Jakarta: Inside Sukarno's Indonesia. John Hughes.
(1967). The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild.
Bernhard Dahm. (1969). Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. John D. Legge (1972)
Sukarno: A Political. Christiaan Lambert Maria Penders (1974). The Life and
Times of Sukarno. Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan.
Biografie 1901–1950. Deel I, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN
90-351-2114-7 Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950–1970, Deel II,
uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5
pbk. Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond
de val van de Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0 Rex Mortimer.
(1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965.
Bambang S. Widjanarko, Antonie C.A. Dake (Introduction), Rahadi S. Karni (Ed.).
(1974). The Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung-Putsch. Hal Kosut
(Ed.). (1976). Indonesia: The Sukarno Years. Franklin B. Weinstein. (1976).
Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to
Soeharto. Masashi Nishihara, Dean Praty R. (Translator). (1976). Sukarno, Ratna
Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951–1966. Ganis
Harsono. (1977). Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era.
Fatmawati Sukarno. (1978). Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Book,
#1). Guntur Sukarno. (1981). Bung Karno & Kesayangannya. Rosihan Anwar. (1981).
Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961–1965.
Ramadhan Kartahadimadja. (1981). Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan
Sukarno. Marshall Green. (1990). Dari Sukarno ke Soeharto: G30 S-PKI dari
Kacamata Seorang Duta Besar. Willem Oltmans. (1995). Mijn vriend Sukarno. John
Subritzky. (2000). Confronting Sukarno: British, American, Australian and New
Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961–65. Angus
McIntyre, David Reeve. (2002). Sukarno in Retrospect: Annual Indonesia Lecture
Series # 24. Victor M. Fic. (2004). Anatomy of the Jakarata Coup: October 1,
1965: The Collusion with China Which Destroyed the Army Command, President
Sukarno and the Communist Party of Indonesia. Antonie C.A. Dake. (2005). Sukarno
File: Berkas-berkas Soekarno 1965–1967 – Kronologi Suatu Keruntuhan. Wijanarka.
(2006). Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya. Reni Nuryanti.
(2007). Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih. Reni Nuryanti.
(2007). Istri-istri Sukarno. Helen-Louise Hunter. (2007). Sukarno and the
Indonesian Coup: The Untold Story. M. Yuanda Zara. (2008). Sakura Di Tengah
Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno. Wawan Tunggul Alam. (2008). Demi
Bangsaku: Pertentangan Sukarno vs Hatta. Arifin Suryo Nugroho. (2009).
Srihana-Srihani:Biografi Hartini Sukarno. Onghokham. (2009). Sukarno, Orang
Kiri, & Revolusi G30S 1965. Rushdy Hoesein. (2010). Terobosan Sukarno Dalam
Perundingan Linggarjati. Tim Buku TEMPO. (2010). Sukarno: Paradoks Revolusi
Indonesia. Arifin Surya Nugraha. (2010). Fatmawati Sukarno : The First Lady. M.
Ridwan Lubis (2010). Sukarno dan Modernisme Islam. Books LLC. (2010). People
From Blitar, East Java: Sukarno. Bücher Gruppe. (2010). Nationalheld
Indonesiens: Tan Malaka, Liste Indonesischer Nationalhelden, Sukarno, Mohammad
Hatta, Abdul Muis, Diponegoro, Iskandar Muda. Hong Liu. (2011). Sukarno,
Tiongkok, & Pembentukan Indonesia (1949–1965). Hephaestus Books. (2011).
National Heroes Of Indonesia, including: Tuanku Imam Bonjol, Sukarno, Wage
Rudolf Supratman, Diponegoro, Mohammad Hatta, Adam Malik, Yos Sudarso, Sudirman,
Hamengkubuwono Ix, Sutan Sjahrir, Kartini, Sultan Agung Of Mataram, Abdul Muis,
Rizal Nurdin. Peter Kasenda. (2012). Hari – Hari Terakhir Sukarno. Jesse Russell
(Editor), Ronald Cohn (Editor). (2012). Rukmini Sukarno. Joseph H. Daves.
(2013). The Indonesian Army from Revolusi to Reformasi Volume 1: The Struggle
for Independence and the Sukarno Era. Joseph H Daves. (2013). The Indonesian
Army from Revolusi to Reformasi: Volume 1 – The Struggle for Independence and
the Sukarno Era. Stefan Seefelder. (2014). Die Bedeutung Der Fruhen Komintern
Fur Die Kommunistischen Antikolonialen Bewegungen Asiens. Maos Und Sukarnos.
Peter Kasenda. (2014). Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri &
Revolusi Indonesia. Walentina Waluyanti de Jonge. (2015). Sukarno-Hatta Bukan
Proklamator Paksaan. Dr. Syafiq A. Mughnie,M.A.,PhD. Hassan Bandung, Pemikir
Islam Radikal. PT. Bina Ilmu, 1994, pp 110–111. Leslie H. Palmier. Sukarno, the
Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957), pp 101–119. Bob
Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901–1970, KIT Publishers
Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1 Stefan Huebner,
Pan-Asian Sports and the Emergence of Modern Asia, 1913–1974. Singapore: NUS
Press, 2016, 174-201. Lagu Lagu berjudul "Untuk Paduka Jang Mulia Presiden
Soekarno" ditulis pada awal dekade 1960-an oleh Soetedjo dan dipopulerkan oleh
Lilis Suryani, solis perempuan terkenal Indonesia era itu. Liriknya penuh dengan
puja-puji untuk Presiden seumur hidup tersebut. Film, televisi, dan panggung
pertunjukan Artikel utama: Aktor pemeran Bung Karno Di kancah perfilman, hiburan
televisi, dan panggung teater Indonesia dan negara lain, ada beberapa aktor yang
memerankan sosok Bung Karno. Semua aktor tersebut, tentu saja bermain dalam film
dan panggung pertunjukan dan judul yang berbeda. Kebanyakan aktor itu, ketika
mendapatkan tawaran main, merasa bangga karena memerankan tokoh besar, pahlawan
proklamator, bapak pendiri bangsa, sekaligus presiden pertama Republik
Indonesia. Catatan Dalam autobiografi Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy
Adams (Bobbs-Merrill Company Inc, New York, 1965) Sukarno menyebutkan lahir di
Surabaya, "Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan" (halaman
26), selanjutnya "Aku dilahirkan pada tahun 1901... Hari lahirku ditandai oleh
angka serba enam. Tanggal 6 Juni." (halaman 21). Namun dalam beberapa dokumen
mencantumkan tanggal 6 Juni 1902 di antaranya "Dalam Buku Induk TH Bandoeng yang
sekarang masih tersimpan di ITB terbaca bahwa tanggal lahir Soekarno adalah 6
Juni 1902."[3]:37[4]:16 Pendapat lain adalah "Dari Buleleng, ia mendapat temuan
ayah Soekarno dipindah ke Surabaya tahun 1901. Dan pada 1902 Soekarno lahir.
"Kalau akhirnya dibuat 1901 itu mungkin untuk memudahkan sekolahnya saja," ujar
Nurinwa."[5] Adapun kontradiksi perbedaan tahun kelahiran ini akhirnya dapat
dijelaskan dalam dialog antara Sukarno dan ayahnya pada halaman 35 "Kalau perlu
kita berbohong. Kita akan mengurangi umurmu satu tahun. Pada tahun ajaran yang
baru engkau akan didaftarkan dengan umur tiga belas." - Oleh karenanya dapat
dipastikan bahwa tanggal kelahiran Sukarno yang sesungguhnya adalah tanggal 6
Juni 1901. "Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970."[6] Bambang
Eryudhawan, IAI: Ketika berdiri pada tahun 1920, Technische Hoogeschool te
Bandoeng berisi Fakultas Teknik saja. Bidang ilmu yang diajarkan, terutama: a)
Ilmu Pasti, b) Ilmu Alam, c) Mekanika, d) Arsitektur, e) Ilmu bahan bangunan, f)
Sipil Basah/Bangunan air, g) Jalan dan Jembatan, h) Mesin, i) Elektro, j)
Surveying and leveling , k) Geodesi, l) Hukum pemerintahan dan perdagangan, m)
Kebersihan, n) Teknik penyehatan, o) Pertanian, p) Geologi terapan, q) Sejarah
kebudayaan Bambang Eryudhawan, IAI: Soekarno sebagai insinyur dianggap menguasai
soal sipil basah, jalan dan jembatan, serta arsitektur. Di arsitektur, gurunya
adalah dua bersaudara Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Prof. Ir.
Richard Leonard Arnold Schoemaker yang mengajar di kelas: arsitektur, sejarah
arsitektur, rencana kota, pembuatan bestek dan taksiran biaya. Algemeene
Studieclub atau Algemeene Studie Club (ASC) adalah klab kuliah umum yang
didirikan oleh para intelektual nasionalis Bumiputera di Tanah Pasundan, Bandung
pada zaman Hindia Belanda tahun 1926. Presiden Sukarno adalah salah satu anggota
pendirinya. Sebagai kelanjutan kelompok studi itu, Soekarno dengan kawan-kawan
kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang merupakan cikal bakal
Partai Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927. Pemerintah kolonial Belanda tampak
sangat khawatir melihat kepopuleran Soekarno, bersama Maskun, Gatot
Mangkupradja, Supriadinata dan pertumbuhan pesat PNI. Dengan dalih menjaga
ketertiban dan keamanan, pemerintah kolonial menangkap dan menahan ratusan
aktivis PNI pada 29 Desember 1929.[23] Galeri Soekarno pada tahun 1947. Soekarno
pada tahun 1947. Presiden Soekarno pada suatu kunjungan pameran lukisan di
Jakarta, mengamati lukisan 'Sumilah' karya Sudibjo. Presiden Soekarno pada suatu
kunjungan pameran lukisan di Jakarta, mengamati lukisan 'Sumilah' karya Sudibjo.
Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dalam upacara pembukaan PON II/1951.
Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dalam upacara pembukaan PON II/1951. Potret
resmi Presiden Soekarno pada era 1960-an. Potret resmi Presiden Soekarno pada
era 1960-an. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nehru melihat Indira Gandhi
menerima bunga pada kunjungannya ke Borobudur. Presiden Soekarno dan Perdana
Menteri Nehru melihat Indira Gandhi menerima bunga pada kunjungannya ke
Borobudur. Letnan Vosveld melapor ke Soekarno. Letnan Vosveld melapor ke
Soekarno. Soekarno melakukan penutupan sidang kepada Genseikan. Soekarno
melakukan penutupan sidang kepada Genseikan. Mobil Soekarno yang diberikan
kepada Kolonel Julian. Mobil Soekarno yang diberikan kepada Kolonel Julian.
Soekarno berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo. Soekarno
berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo. Soekarno selesai
bertemu dengan Sutan Sjahrir. Di belakang adalah Mohammad Roem. Soekarno selesai
bertemu dengan Sutan Sjahrir. Di belakang adalah Mohammad Roem. Soekarno
berterima kasih atas dilibatkannya rakyat Jawa dalam pemerintahan. Soekarno
berterima kasih atas dilibatkannya rakyat Jawa dalam pemerintahan. Referensi A.
Setiadi (2013), Soekarno Bapak Bangsa, Yogyakarta: Palapa, pp.21. "Sukarno".
Random House Webster's Unabridged Dictionary. (Indonesia) Goenarso (1995).
Riwayat perguruan tinggi teknik di Indonesia, periode 1920–1942. Bandung:
Penerbit ITB. (Indonesia) Sakri, A. (1979a). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan
lustrum keempat 2 Maret 1979. Jilid I: Selintas Perkembangan. Bandung: Penerbit
ITB. Iswidodo (Minggu, 29 Agustus 2010 20:28 WIB). Iswidodo, ed. "Antropolog
UGM: Bung Karno Lahir di Surabaya". Tribunnews.com. tribunnews.com. Diakses
tanggal 11 September 2015. "Soekarno – biografi". Kepustakaan Presiden-Presiden
Republik Indonesia. Diakses tanggal 6 Juni 2015. (Indonesia) Kasenda, Peter
(2010). Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933. Jakarta: Komunitas Bambu.
ISBN 979-373-177-X. (Indonesia) Warman, Asvi (2009). Membongkar Manipulasi
Sejarah. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 979-709-404-1. (Indonesia) Adams,
Cindy (1984). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung. ISBN 979-96573-2-6. "Soekarno tanpa achmad". (Inggris) Adams, Cindy
(1965). Sukarno, an autobiography as told to Cindy Adams. New York: The Bobs
Merryl Company Inc. ASIN B0007DFFFK. (Cindy Adams, terjemahan Syamsu Hadi. Ed.
Rev. 2011. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN
979-911-032-7-9) halaman 32 Kisah Istimewa Bung Karno. Kompas Media Nusantara.
2010. ISBN 978-979-709-503-1. "Oost Indië". 15 Jul 1921 – via KB NBM Mfm MMK
0030 [Microfilm]. (Inggris) Brown, Colin (2007). Sukarno. Microsoft ® Student
2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation. (Indonesia) Sakri, A. (1979b).
Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979. Jilid II: Daftar
lulusan ITB. Bandung: Penerbit ITB. "Menguak Sisi Artistik Bung Karno". Arsip
Sunjayadi.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-09. Diakses tanggal 18
September 2015. Zein, Abdul Baqir (1999). Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia.
Jakarta: Gema Insani Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-13. Santi
Widhiasih (Senin, 11 September 2006). "Jejak Arsitektur Sang Presiden". Pikiran
Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-14. Diakses tanggal 11
September 2015. Resensi atas buku Bung Karno Sang Arsitek – Kajian Artistik
Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks
Pidato 1926 – 1965 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992).
Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. PT Balai
Pustaka. Yuke Ardhiati, JJ. Rizal (ed.), Edi Sedyawati (pengantar) (Juni 2005).
Bung Karno Sang Arsitek - Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota,
Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965. Depok: Komunitas
Bambu. Dahm, Bernhard (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Penerbit
LP3ES Jakarta. hlm. 47–48. Yudi Latif (2008). "Indonesian Muslim Intelligentsia
and Power". ISEAS Publishing. Kasenda, Peter (2013). "SOEKARNO: Membongkar
Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar". Jakarta Selatan: Jurnal Prisma. hlm. hal 2 &
3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2015-09-09.
Membaca kembali Sukarno. Sumber lain menyebut tahun 1924 dan 11 Juli 1925
sebagai hari kelahiran organisasi kuliah umum tersebut Anwar Khumaini (Jumat, 1
Juni 2012 06:12). "7 Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno". Merdeka.com.
Merdeka.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-30. Diakses tanggal 9
September 2015. Fadillah, Ramadhian (Kamis, 11 September 2014 01:02). Fadillah,
Ramadhian, ed. "CIA bikin film porno Presiden Soekarno & pramugari cantik
Rusia". Merdeka.com. www.merdeka.com. Diakses tanggal 15 September 2015. Yudi
Anugrah Nugroho. "Film Porno Mirip Sukarno". historia.id. Diakses tanggal 15
September 2015. Illahi, Kurnia (Minggu, 16 Agustus 2015−06:39 WIB). "Kecerdikan
Soekarno Manfaatkan Soviet dan Amerika". Sindonews.com. Nasional.sindonews.com.
Diakses tanggal 15 September 2015. "Ketika Alutsista Diembargo ..." Kompas.com.
Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal Wed Oct 04 2000 – 16:46:34 EDT.
Diakses tanggal 15 September 2015. Peter N. Nemetz (1990). The Pacific Rim:
Investment, Development and Trade: Second Revised Edition. Vancouver BC:
University of British Columbia Press. hlm. 16–20. Kawin Wilairat. "Singapore's
Foreign Policy". Singapore: The Institute of Southeast Asean Studies. (Inggris)
Aji, Achmad Wisnu (2010). Kudeta Supersemar: Penyerahan atau Perampasan
Kekuasaan?. Garasi House of Book. ISBN 978-979-25-4689-7. Halaman 36, 145. Huda
M., Nurul (2010). Benarkah Soeharto Membunuh Soekarno?. Starbooks. ISBN
978-979-25-4724-5. Halaman 5, 57, 84-89. Nama Jalan Proklamasi Akan Dikembalikan
Merrillees, Scott (2015). Jakarta: Portraits of a Capital 1950-1980. Jakarta:
Equinox Publishing. hlm. 44. ISBN 9786028397308. Farrel M. Rizqy, ed. (2009).
Bung Karno – Di Antara Saksi dan Peristiwa [Bung Karno – Between Witnesses and
Events]. Jakarta: Kompas. hlm. 64. ISBN 9789797094096. Roy (3 Juni 2008). "Kuba
Terbitkan Prangko Bung Karno dan Fidel Castro". Kompas.com. Kompas Cyber Media.
Diakses tanggal 3 Juni 2008. Nurdin Saleh (15 Januari 2001). "Gelora Senayan
Siap Berubah Menjadi Gelora Bung Karno". Tempo Interaktif. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 5 Juni 2010. Info UBK Diarsipkan
2010-05-03 di Wayback Machine., Universitas Bung Karno. Diakses pada 5 Juni
2010. Profil Yayasan Diarsipkan 2010-07-15 di Wayback Machine., Yayasan Bung
Karno. Diakses pada 3 Agustus 2010. "Satria Piningit Mengaku Temukan Harta Karun
Bung Karno". Suara Merdeka Online. Suara Merdeka. 17 Mei 2003. Diarsipkan dari
versi asli tanggal 2010-07-19. Diakses tanggal 3 Agustus 2010. Apa dan Siapa Ir.
Sukarno Diarsipkan 2010-06-29 di Wayback Machine., Yayasan Bung Karno. Diakses
pada 3 Agustus 2010. "Penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipurna Presiden
Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Mahaputera Adipurna
Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Gerilya
Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Sakti
Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Dharma
Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Jasa Utama
Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Bhayangkara
Utama Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07. "Briefer on the
Philippine Legion of Honor". Official Gazette of the Republic of the
Philippines. Gov.ph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-27. Diakses
tanggal 2013-04-13. Wirayudha, Randy (2015-10-12). "Soekarno dan Tiga Medali
Tertinggi Vatikan". Okezone.com. Diakses tanggal 2022-11-06. Katolikana,
Redaksi. "Soekarno dan Tiga Medali Tertinggi Vatikan". KATOLIKANA (dalam bahasa
Inggris). Diakses tanggal 2022-11-06. "Kunjungan Sukarno ke Maroko". Historia -
Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2020-10-22. Diakses tanggal
2022-11-06. Yearbook of the Great Soviet Encyclopedia. Moscow. Russian:
Sovetskaya Entsyiklopediya. 1961. "Tiga Medali Vatikan Soekarno Bikin Iri
Presiden Irlandia - Nasional | Universitas Muhammadiyah Malang".
https://www.umm.ac.id/id/nasional/tiga-medali-vatikan-soekarno-bikin-iri-presiden-irlandia.html
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-11-06. Hapus pranala luar di
parameter |website= (bantuan) "Penghargaan Bintang Garuda Presiden Soekarno".
Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Diakses tanggal 2021-09-07. "Penghargaan Bintang Sewindu APRI Presiden
Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-07.